Menjadi jenius mungkin dambaan mayoritas manusia. Masalahnya,
pengharapan sekaligus tekanan berlebih bisa mengorbankan hidup orang
yang berotak super. Contoh paling tragis terekam pada kisah William J
Sidis, si jenius ber-IQ 250 – 300.
Mungkin belum banyak yang mengenal nama William J Sidis. Kisah
berikut akan menjelaskan siapa, apa, dan bagaimana kiprahnya di dunia
keilmuan. Sebuah dunia yang mendewakan manusia-manusia super cerdas,
lalu lalai pada sisi kemanusiaan itu sendiri.
Seperti dilansir apakabardunia.com,
berawal dari Boris dan Sarah Sidis, pasutri Yahudi Ukraina yang menjadi
imigran ke Amerika Serikat di akhir abad 19 akibat tekanan politik dan
agama di negara asal mereka. Boris dan Sarah kemudian menetap di New
York. Dalam waktu singkat, Boris menjadi psikolog cukup terkenal berkat
metode hipnosis.Sarah menjadi dokter, dan di jaman itu ia satu-satunya
perempuan yang mendapat gelar dokter. Karir pasutri ini sangat
cemerlang.
Apakah semua cukup? Belum. Mereka menginginkan anak-anak yang bakal
mewarisi kecemerlangan otak mereka. Dan, pada tanggal 1 April 1898,
Sarah melahirkan anak pertama pasangan itu, William James Sidis.
Sejak kecil, pendidikan (atau pembentukan? pen.) William dimulai
begitu intens. Tabungan keluarga digunakan untuk buku, mainan, serta
perlengkapan lain yang bisa mendorong san anak berkembang cepat.
Memanfaatkan teknik psikologi inovatif Boris , William diajarkan untuk
mengenali dan mengucapkan huruf dari alfabet dalam beberapa bulan. Si
kecil sudah bisa berbicara seperti “door” (pintu) saat usianya 6 bulan.
Serta terampil makan sendiri dengan sendok ketika 8 bulan.
Apa bayangan Anda tentang William? ya, anak ajaib. Demikian pula
Boris dan Sarah, mereka sangat bangga. Bayangkan, saat menginjak usia 2
tahun William sudah bisa membaca harian New York Times dan mengetik
dengan bahasa Inggris dan Perancis.
Sisi negatifnya, pelatihan berlebih ditambah atensi media (berkat
Sarah yang suka menulis jurnal memamerkan keberhasilan anak mereka)
mengakibatkan William kehilangan sisi “anak” yang seharusnya bermain
dengan teman seusianya. Di usia 9 tahun ia sudah diterima di Harvard,
walau pihak kampus menolaknya hadir di kelas karena secara emosional ia
belum dewasa.
Orang tua William menekan Harvard dengan menuliskan kisah tersebut
hingga dimuat di halaman pertama New York Times. Lalu Tufts College juga
mengaku pada publik bahwa William mengoreksi kesalahan dalam buku-buku
matematika dan mencoba untuk menemukan kesalahan dalam teori relativitas
Einstein.
Akhirnya Harvard menyerah, William pun bisa kuliah. Ia terdaftar sebagai mahasiswa ketika usianya mencapai 11 tahun.
Boston, 1910. Di puncak musim dingin, ratusan orang hadir
mendengarkan bocah ajaib William J Sidis berbicara tentang dimensi ke-4
pada tubuh manusia. Kabar ini menyebar cepat, dunia terkesima. Media
mendapat sumber berita paling sensasional. Wartawan pun terus menguntit
William di kampusnya. Bagaikan selebritas, ia tak punya waktu privasi
lagi.
Di usia 16 tahun akhirnya William lulus dari Harvard dengan predikat
cum laude.
Membanggakan bagi orang tua dan publik, tapi tidak bagi
William. Menurut penulis biografi Sidis Amy Wallace , William pernah
mengaku tidak pernah mencium seorang gadis. Suatu hal yang ‘aneh’ dalam
budaya remaja Amerika. Saat wisuda, ia memberi pernyataan terbuka pada
wartawan, “Saya ingin menjalani kehidupan yang sempurna. Satu-satunya
cara untuk menjalani kehidupan yang sempurna adalah hidup dalam
pengasingan. Saya selalu membenci orang banyak.”
Setelah meninggalkan Harvard, masyarakat dan orang tuanya
mengharapkan hal-hal besar dari William. Dia memang mengajar matematika
di Rice University di Houston, Texas. Faktanya, usia William yang lebih
muda dari semua siswanya mengakibatkan kesulitan dalam mengajar. Dia pun
mengundurkan diri dan pindah kembali ke Boston.
Di saat yang sama, Amerika sebagai negara kapitalis bertolak belakang
dengan haluan komunis. Sementara William justru berpaham sosialis, hal
ini membawanya ke penjara di bulan Mei 1919 karena merancang demonstrasi
sayap kiri. Dalam sel, ia bertemu Martha Foley seorang sosialis
Irlandia. Cinta mereka berdua berjalan rumit, sehubungan dengan faham
William yang ‘unik’ soal cinta, seni, dan seks hanyalah agen sebuah
“kehidupan yang tidak sempurna.”
Pengakuannya sebagai atheis dan sosialis di pengadilan menghasilkan
hukuman 18 bulan penjara bagi William. Untungnya, pengaruh orangtuanya
membuatnya keluar penjara. Ia lalu pindah dari satu kota ke kota lain,
dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, dan mengubah namanya agar tak
ditemukan.
Selama dalam keterasingan hidupnya, ia menulis puluhan buku dengan
nama samaran. Masa-masa inilah karya-karyanya terbilang fenomenal. Dalam
The Animate and the Inanimate (1925), William mengklaim tentang wilayah
gelam di alam semesta (teori yang sekarang berkembang soal dark matter,
anti matter, dan black hole). Sidis juga menulis sejarah Amerika dari
jaman prasejarah hingga 1928. Ia menyebut bahwa orang-orang kulit merah
sebagai penduduk pribumi juga hidup di waktu yang sama ketika nenek
moyang kulit putih berkembang di Eropa.
Penarikan diri William dari dunia, memutuskan kontak dengan orang
tuanya, menggiring William dalam kesendirian sebagai anti-sosial.
Meskipun media tetap berusaha menjadikannya sumber berita. Tulisan di
The New Yorker tahun 1937 yang memuat tulisan seorang reporter wanita
yang dikirim untuk berteman sambil mengorek rahasia hidup William
merupakan aib terbesar dalam hidupnya. Penggambaran dirinya yang
kekanak-kanakan, atau menangis di tempat kerja sungguh kisah memalukan.
Tuntutan William pada The New Yorker sempat sampai ke Mahkamah Agung,
bagaimanapun publik telah melihat ‘kehancuran’ William yang gagal
menjadi seorang pria seperti seharusnya.
Akhirnya di sebuah hari saat musim panas bulan Juli 1944, William
ditemukan tak sadarkan diri dalam apartemen kecilnya di Boston. Ia
terserang stroke, otaknya sekarat. Tak pernah sadar lagi dan meninggal
di usia 46 tahun. Satu kenangan yang tersisa hanya foto dalam dompetnya,
foto Martha Foley.